SERBA-SERBI
KEGIATAN DESA GAPURANA
A. Kebudayaan Musyawarah
MUSYAWARAH PERANGKAT DESA BESERTA WARGA DAN TAHLILAN
ika kita melihat di masa lalu, nenek moyang bangsa Indonesia memiliki warisan yang sangat berharga. Warisan tersebut adalah budaya musyawarah. Budaya Indonesia ini harus tetap dilaksanakan dan dikembangkan oleh masyarakat kita dewasa ini. Apalagi ditunjang dengan berkembangnya teknologi informasi yang dapat menjadi salah satu sarana dalam mengembangkan musyawarah. Dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama, musyawarah tentu lebih cocok daripada tindakan lainnya. Dalam musyawarah, semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak dibedakan berdasarkan jabatan atau apapun. Setiap orang dalam musyawarah harus saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain untuk mencapai kesepakatan.
Didalam Sila ke-4 pancasila yang berbunyi “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan” memiliki makna :
· Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
· Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
· Mengutamakan budaya bermusyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
· Bermusyawarah sampai mencapai kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan.
Dari bunyi sila ke-4 tersebut sudah menjelaskan bahwa musyawarah adalah budaya yang harus dijaga kelestariannya di Indonesia. Pelaksanaan musyawarah memiliki tujuan untuk mendapatkan kesepakatan bersama sehingga semua hasil keputusan dapat diterima dan dijalankan dengan ikhlas lagi baik yang di iringi dengan rasa tanggung jawab di dalamnya. Musyawarah digunakan untuk mendapatkan solusi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, yakni mulai dari ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya. Di dalam pelaksanaan putusan, ada persamaan hak dan kewajiban dari semua peserta musyawarah. Sekalipun seorang peserta adalah juga pemimpin dari musyawarah tersebut, namun hak dan kewajiban dalam melaksanakan kesepakatan tidak berbeda dengan anggota dalam musyawarah tersebut. Selain itu, dalam musyawarah tidak ada perbedaan status sosial sehingga yang perlu diingat lagi adalah bahwa peran peserta harus aktif dimana hak dan kewajiban secara keseluruhan adalah sama. Cara penyampaian pendapat yang kurang tepat atau bahkan kurang baik dapat menimbulkan banyak asumsi yang bisa saja tidak sesuai dengan harapan penyampai pendapat.
Pelaksanaan musyawarah dapat terganggu jika terjadi komunikasi yang tidak sesuai dengan harapan semua peserata. Raihan kata sepakat pun akan sulit diperoleh sehingga pemecahan atas masalah yang dihadapi dan menjadi pokok bahasan menjadi semakin sulit. Dalam musyawarah sebaiknya menghindari adanya komunikasi yang tidak sesuai dengan harapan atau susah dipahami. Hal ini dapat memunculkan kebingungan peserta yang lain. Ada baiknya kita menggunakan cara berkomunikasi yang benar dan baik ketika menyampaikan pendapat di dalam sebuah forum musyawarah. Dengan penyampaian yang baik dan benar, maka pendapat kita dapat dipahami oleh para peserta rapat. Jika pemahaman sudah benar maka akan mudah bagi forum musyawarah untuk mengambil keputusan.
B. Tahlilan Sebagai Bagian dari Kebudayaan Islam
Tahlilan adalah ritual/upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam kebanyakan di Indonesia untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.
Kata "Tahlil" sendiri secara harfiah berarti berdzikir dengan mengucap kalimat tauhid "Laa ilaaha illallah" (tiada yang patut disembah kecuali Allah). Oleh para da'i(yang dikenal wali songo) pada waktu itu, ritual yang lama diubah menjadi ritual yang bernafaskan Islam. Di Indonesia, tahlilan masih membudaya, sehingga istilah "Tahlilan" dikonotasikan memperingati dan mendo'akan orang yang sudah meninggal. tahlilan dilakukan bukan sekadar kumpul-kumpul karena kebiasaan zaman dulu. Generasi sekarang tidak lagi merasa perlu dan sempat untuk melakukan kegiatan sekadar kumpul-kumpul seperti itu. jika pun tahlilan masih diselenggarakan sampai sekarang, itu karena setiap anak pasti menginginkan orang tuanya yang meninggal masuk sorga. Sebagaimana diketahui oleh semua kaum muslim, bahwa anak saleh yang berdoa untuk orang tuanya adalah impian semua orang, oleh karena itu setiap orangtua menginginkan anaknya menjadi orang yang saleh dan mendoakan mereka. dari sinilah, keluarga mendoakan mayit, dan beberapa keluarga merasa lebih senang jika mendoakan orang tua mereka yang meninggal dilakukan oleh lebih banyak orang(berjama'ah). maka diundanglah orang-orang untuk itu, dan menyuguhkan(sodaqoh) sekadar suguhan kecil bukanlah hal yang aneh, apalagi tabu, apalagi haram. suguhan(sodaqoh) itu hanya berkaitan dengan menghargai tamu yang mereka undang sendiri.
Kegiatan ini bukan kegiatan yang diwajibkan, orang boleh melakukannya atau tidak. Tahlilan bukanlah kewajiban, tahlilan adalah pilihan bebas bagi setiap orang dan keluarga berkaitan dengan keinginan mendoakan orang tua mereka ataukah tidak. tahlilan juga bukanlah kegiatan yang harus dilakukan secara berkumpul-kumpul di rumah duka.
C. Musyawarah di Desa Gedangan
Gedangan adalah sebuah desa di kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang yang mayoritas masyarakat adalah orang muslim, akan tetapi bisa dikatakan hanya sebagai muslim biasa yang menganut agama nenek moyang, bukan sebuah desa santri yang mengedepankan asas-asas islami hanya saja budaya nenek moyang yang sangat melekat yang mencerminkan keislaman masih terasa sampai sekarang. Salah satu dari budaya tersebut adalah terdapatnya musyawarah dalam aspek pembahasan apapun yang akan di angkat dalam bermusyawarah selalu di dahului dengan tahlilan.
Budaya inilah yang menjadi pokok bahasan di dalam artikel ini, masyarakat Gapurana menganggap dengan adanya tahlilan apapun substansi masalah dalam pembahasan musyawarah akan mendapatkan hasil jalan pemecahan masalah yang baik dan memuaskan. Asumsi tahlilan yang sebelumnya adalah sebagai doa untuk mendoakan orang tua yang telah meninggal saja lambat laut menjadi sebuah ritual yang lebih luas pemaknaannya, mereka merasa dengan adanya tahlilan pelaksanaan musyawarah akan berjalan lancar dengan akibat yang ditimmbulkan yaitu terciptanya saling menghormati diantara sesama, mulai dari musyawarah pemerintahan di balai desa, organisasi Rt/Rw, Remas, sampai musyawarah mengenai nyinom nikahan-pun di dahului dengan tahlilan. Tahlilan di dalam musyawarah ini mereka anggap sebagai senjata ampuh untuk berdoa agar mendapat hasil yang maksimal sebelum memulai musyawarah, sedangkan tahlilan yang di anggap mendoakan orang tua yang telah meninggal adalah ketika tahlilan yang di laksanakan di temput rumah-rumah yang memiliki hajad mengirim doa kepada orang tua, biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.
Bisanya pemimpin tahlil dalam musyawarah adalah seorang yang di anggap alim atau biasa di sebut tokoh masyarakat, beliau membacakan bacaan-bacaan tahlil dengan hikmat dan para peserta musyawarah mengikuti bacaan-bacaan tahlil tersebut tanpa ada yang bercanda gurau atau-pun malah berbicara sendiri. Hal ini sangan memberikan sugesti yang sungguh-sungguh bagi para peserta musyawarah untuk serius dalam menanggapi maupun memberikan solusi masalah dalam bermusyawarah, maka tidak heran jika hasil musyawarah itu menghasilkan kepuasan tersendiri bagi setiap peserta munsyawarah. Selanjutnya setelah tahlilan barulah pemimpin musyawarah yang biasanya adalah seorang ketua organisasi menggantikan seorang tokoh masyarakat yang memimpin tahlil untuk memimpin musyawarah.
D. Proses Terjadinya Kebudayaan yang di Dukung oleh Teori Missionari
Akulturasi antara budaya lokal dengan nilai-nilai islam yang terdapat dalam budaya musyawarah ala desa Gedangan menunjukkan terjadinya proses yang menggunakan teori missionary, dimana para tokoh ulama ikut berperan dalam proses terjadinya budaya, mereka memasukkan nilai-nilai islam di suatu kebudayaan lokal yang pasti suatu masyarakat akan melaksanakan kebudayaan tersebut. Para Ulama itu memiliki misi untuk memberikan sugesti dan pengaruhnya tentang pentingnya nilai-nilai islam terhadap suatu masyarakat dengan cara yang cukup sederhana akan tetapi memberikan nilai yang membekas didalam suatu masyarakat.
Dengan adanya teori missionary tersebut para ulama yang merasa takut akan semakin pudarnya budaya tahlilan yang di bawa oleh para leluhur membuat cara agar hal itu bisa di atasi, dengan memberikan arahan-arahan tentang banyaknya manfaat tahlilan didalam musyawarah, para ulama tersebut berhasil meyakinkan masyarakat tentang hal itu, hingga akhirnya missi yang di lakukan oleh para ulama mendapatkan respon yang positif. Cara ini adalah salah satu trik atau metode para ulama dalam melakukan dakwahnya di desa Gapurana.
http://baihaqiadib.blogspot.co.id/2015/09/kebudayaan-musyawarah.html
0 komentar:
Posting Komentar